Hasbi Syamsu Ali: Kedatuan Luwu Adalah Perekat Utama Warga Luwu Raya

waktu baca 3 menit
Selasa, 20 Mei 2025 19:14 0 1312 Tim Redaksi
 

LUWU RAYA — Ketua Badan Pengurus Wilayah (BPW) Kerukunan Keluarga Luwu Raya (KKLR) Sulawesi Selatan, Ir. Hasbi Syamsu Ali, MM, menegaskan bahwa simbol budaya Kedatuan Luwu merupakan perekat utama yang menyatukan masyarakat Luwu Raya di tengah keberagaman suku, bahasa, dan agama.

Hal ini disampaikannya usai menghadiri peringatan hari jadi Kabupaten Luwu Timur pada 19 Mei dan Kabupaten Luwu Utara pada 20 Mei 2025.

“Alhamdulillah, dua hari ini kita menyaksikan bagaimana perayaan hari jadi tidak hanya menjadi selebrasi administratif, tetapi juga ruang ekspresi kebersamaan dan kemajuan masyarakat Luwu Raya,” ujar Hasbi di sela kegiatan.

Dalam perayaan Hari Jadi Luwu Timur, pemerintah daerah menampilkan berbagai capaian pembangunan, termasuk peluncuran program inovatif seperti Kartu Pintar dan Kartu Lansia oleh Bupati Irwan Bachri Syam.

Sementara di Luwu Utara, Bupati Andi Abdullah Rahim memperkenalkan program “Solusi Lutra” yang berfokus pada penguatan sektor pertanian dan ketahanan pangan.

Namun bagi Hasbi, yang paling membanggakan bukan hanya deretan program tersebut, melainkan kekompakan antardaerah yang hadir dalam semangat saling dukung dan kolaborasi.

“Ini momentum penting yang menunjukkan bahwa di balik segala pencapaian, ada semangat kolektif yang masih hidup. Kita semua berkumpul, saling dukung, dan itu menegaskan kembali bahwa masyarakat Luwu Raya tetap solid,” tuturnya.

Kedatuan Luwu: Lebih dari Sekadar Simbol Sejarah

Hasbi menekankan bahwa persatuan masyarakat Luwu Raya memiliki fondasi yang unik. Berbeda dengan wilayah lain yang membangun identitas kolektif berdasarkan kesamaan bahasa atau agama, masyarakat Luwu Raya disatukan oleh nilai sejarah dan simbol budaya: Kedatuan Luwu.

“Di Luwu, bahasa dan agama tidak menjadi faktor tunggal pemersatu. Justru Kedatuan Luwu-lah yang menjadi lambang dan semangat persatuan kita. Ini rumah besar yang menyatukan semua anak suku yang ada di dalamnya,” jelas Hasbi.

Ia menyebut bahwa identitas sebagai orang Luwu memiliki makna mendalam dan melekat kuat dalam sanubari masyarakat, melampaui sekat-sekat formal.

“Bahkan jika seseorang tak terlalu aktif dalam aspek keagamaan, tapi kalau identitas ke-Luwu-annya diragukan, dia bisa marah. Artinya, ikatan kita bukan semata-mata pada dokumen atau struktur formal, tetapi pada sejarah dan leluhur yang menyatukan kita,” imbuhnya.

Simbol Budaya Harus Dijaga dan Dihidupkan

Hasbi juga menyampaikan apresiasinya atas kehadiran lembaga adat dan wakil Kedatuan dalam dua perayaan hari jadi tersebut. Menurutnya, keberadaan mereka adalah pengingat bahwa pembangunan modern tetap harus berjalan seiring dengan pelestarian nilai-nilai warisan budaya.

“Sejak kemerdekaan, Luwu sudah berdiri teguh mendukung NKRI. Hari ini, tugas kita adalah menjaga warisan itu, bukan sekadar mengenangnya. Alhamdulillah, simbol-simbol adat dan budaya kita masih hadir dan diakui. Ini sangat penting untuk terus dirawat,” ujarnya.

Kedatuan Luwu diyakini sebagai salah satu kerajaan tertua di Sulawesi Selatan, yang telah berdiri sejak abad ke-13. Dalam catatan sejarah Anthony Reid (Southeast Asia in the Age of Commerce, 1993), Luwu disebut sebagai pusat perdagangan dan kekuatan politik utama di kawasan timur Indonesia sebelum masuknya kolonialisme.

Kini, meski secara administratif Luwu Raya telah terbagi menjadi empat daerah—Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, dan Kota Palopo—semangat kolektif masyarakatnya tetap bertumpu pada satu akar budaya yang sama.

“Selama kita terus menjaga simbol dan nilai Kedatuan, maka masyarakat Luwu Raya akan tetap satu dalam perbedaan. Inilah kekuatan kita yang tidak dimiliki oleh semua daerah,” pungkas Hasbi. (*)