Oleh: Ridwan Andi Usman (Ketua Umum HMI Cabang Palu periode 2004-2006)
Pilkada yang menyebalkan, karena Ia replikasi dari pemilu yang juga memuakkan.
Apakah pemilu dan pilkada sistemnya yg tidak sempurna, sehingga nampak menghianati nilai – nilai demokrasi, bahkan merobohkan nilai – nilai kejujuran yang menjadi prinsip – prinsip universalitas.
Tidakkah sistem itu berevolusi agar semakin beradabtasi dan menginternalisasi prinsip – prinsip universalitas.
Evolusi sistem seperti halnya evolusi manusia, pertumbuhan dan perkembangannya yang makin menyulut keadaban dan keadilan.
Manusia beradab karena saling memuliakan, sistem menyulut keadaban karena memastikan keadilan dan kesamaan akses. Sistem adalah kesepakatan rasional untuk memblokade tindakan – tindakan menyimpang.
Lalu dimana hakikatnya sistem, jika penyimpangan nilai terjadi secara massif di dalamnya.
Apakah sistem itu memang mengandung kontradiksi di dalamnya, sehingga perlahan tapi pasti akan roboh dengan sendirinya.
Ataukah sistem itu sudah apik mengatur segala hal, hanya saja ada orang atau sekelompok orang yang memiliki kekuasaan besar yang mana segala hasrat kuasanya selalu mendapat pemakluman, termasuk di dalamnya merobohkan sistem, tetapi tetap dimaklumi sebagai tindakan mulia.
Tindakan – tindakan yang maha kuat itulah yang direplikasi secara berjenjang dan bertahap seolah sebagai hal yang lazim.
Penyimpangan yang dianggap lazim karena dilakukan oleh orang yang berkuasa. Maka, itu dengan sendirinya menjadi sistem, sistem sebelumnya menjadi semu. Ia hanya dipercakapkan secara ideal, tetapi ilusi dalam praktek.
Maka benar khutba samuel huntingtong, bahwa perubahan yang efektif umumnya dipandu oleh sikap kharismatik, berwawasan kerakyatan, mengispirasi rakyat untuk secara bersama – sama menuju perubahan yang otentik.
Kembali ke soal pemilu dan pilkada, Ia seolah anak kembar yang kelahirannya diharapkan dan ditunggu – tunggu, tetapi karena memiliki cacat bawaan sehingga ramai – ramai disesalkan.
Guru kencing berdiri, murid kencing berlari, seperti itulah metafor perasaan orang – orang yang menyaksikan kegaduhan pemilu, lalu menyaksikan kebengisan pilkada.
Pola keculasannya sama, kalau pemilu masih samar – samar, di pilkada sudah terang – terangan. Tragisnya, rakyat menyaksikan itu seolah hal yang tak terelakkan.
Pertemuan elit yang koruptif dan rakyat yang pragmatis, sistem yang dirancang dengan segenap nilai moral menjadi tak ada artinya. Ibaratnya tidak perlu mempersoalkan kucing hitam atau putih yang terpenting gercap menangkap tikus.
Tak perlu mempersoalkan proses yang penting rakyat sudah memilih pemimpinnya, entah dengan money politik, melibatkan unsur – unsur negara itu soal belakang.
Lalu kapan kita dapat menikmati pemilu dan pilkada yang betul – betul demokratis, dan berefek positif pada kepercayaan sosial dan kesejahteraan rakyat.
Tentu, butuh waktu dan optimisme, serta meyakini bahwa kita sudah berada di jalur yang tepat. Hanya saja, jalur yang tepat itu dibajak oleh gerombolan politik karena yang jujur dan berniat baik untuk negeri ini belum mahir dan kreatif mengambil hati rakyat.
Mengembalikan sistem pilkada ke DPRD, bisa jadi makin menguntungkan para gerombolan politik yang sedang dan akan menikmati lezatnya kekuasan hari ini. Maka, upaya paling arif adalah seluruh kekuatan moral harus ikut berpartisipasi memikirkannya.
Mungkin ada baiknya, calon bupati ke depan dipilih oleh DPRD terlebih dahulu, peringkat satu sampai tiga, diserahkan kepada rakyat untuk dipemilukadakan.
Persentase kemenangan di DPRD diberi nilai 40%, dan persentase kemenangan dipemilukada diberi nilai 60%.
Pemenangnya akan ditentukan pada jumlah total dua tingkatan pemilihan. Pemenang pemilukada tidak otomatis menjadi pemenang, karena akan dihitung secara total jumlah persentase kemenangan.
Cara ini akan mengurangi money politik, karena ada ketidakpastian di dalamnya. Semoga.