Membaca Gelombang Jutaan Massa Jalan Gembira

waktu baca 5 menit
Rabu, 4 Okt 2023 17:01 0 91 Tim Redaksi
 

Oleh: Ubedilah Badrun

Ada gelombang jutaan massa berkumpul menghadiri Gerak Jalan Gembira di Makassar pada Minggu (24/9/2023).

Peristiwa itu menjadi pemberitaan nasional berhari-hari dan menyebar di berbagai lini masa dari jejaring algoritma digital perkotaan hingga pedesaan.

Saya termasuk yang penasaran dengan fenomena itu. Mengapa itu terjadi?

Klaim lebih dari satu juta masa yang hadir secara kalkulatif saya coba cermati dan ternyata terkonfirmasi karena secara faktual massa rakyat tidak hanya berjejal memadati jalan di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman, Kota Makassar, tetapi juga masa berjejal memadati Jalan Kartini, Jalan Chairul Anwar, Jalan Amanagappa hingga Jalan Ince Nurdin, Kota Makassar.

Selain itu kepadatan massa juga tampak di Parkiran Pelamonia dan area Monumen Mandala.

Bagaimana membaca fenomena tersebut secara Sosiologis Politik? Ratusan ribu hingga jutaan massa berkumpul itu perlu dibaca dan dianalisis sebagai fakta sosial, perilaku sosial sekaligus sebagai fenomena sosial yang memiliki tanda-tanda bermakna dalam perspektif politik.

Massa, Kerinduan, dan Harapan

Gelombang jutaan manusia secara sosiologis adalah massa. Dalam perspektif sosiologi seperti yang diungkapkan Neil Smelser (1930-2017) dalam bukunya Theory of Collective Behavior (1962), ada beberapa kondisi yang memungkinkan munculnya massa, diantaranya karena kegagalan kontrol, ketegangan dalam masyarakat, dan ada peristiwa atau suasana yang memicu munculnya massa.

BACA:  Deklarasi di Patallasang, Mileanies Takalar Siap "Presidenkan" Anies Baswedan

Dengan menggunakan perspektif Neil Smelser kita seperti diajak menelusuri jutaan massa itu dimana mereka bergerak karena gagalnya fungsi kontrol sosial di tengah-tengah masyarakat karena aspirasi rakyat semakin ditinggalkan oleh elit, selain itu ketegangan politik dan suasana menjelang pilpres 2024 ini telah memicu munculnya sikap dan keberpihakan massa terhadap kontestan pemilu 2024.

Kehadiran Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar adalah stimulus yang memicu hasrat jutaan manusia berkumpul itu. Mereka semacam menyalurkan atau menitipkan harapanya kepada Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar.

Perspektif Gustave Le Bon (1841-1931, ilmuwan psikologi sosial mengemukakan dalam bukunya The Crowd: A Study Populer Mind (1896) bahwa dalam massa terdapat hukum bernama law mental unity, yaitu massa merupakan kesatuan pikiran dan kesatuan jiwa-jiwa.

Perspektif Gustave Le Bon ini lebih melihat fenomena massa sebagai ekspresi kesatuan pikiran dan kesatuan kerinduan tentang sesuatu dari jiwa-jiwa manusia yang berbondong – bondong hadir dalam jalan gembira itu.

Pertanyaanya adalah pikiran tentang apa mereka bersatu dan keadaan jiwa seperti apa mereka bersatu dalam lautan massa itu?

Tentu sebagai akademisi saya mencermati yang terlihat bahwa pikiran perubahan adalah narasi yang dominan yang muncul dari orasi atau pidato tokoh yang hadir dan teriakan atau suara-suara yang terungkap dari massa.

Sedang keadaan jiwa yang menyatukan mereka adalah keresahan, kerinduan dan harapan yang ada dalam jiwa-jiwa mereka.

Keresahan tentang kondisi sosial ekonomi politik saat ini, kerinduan terhadap pemimpin yang dapat dipercaya, dan harapan tentang mimpi indah masa depan Indonesia.

BACA:  Sawedi Muhammad: Konflik di Lingkar Tambang PT Vale Harus Segera Diselesaikan

Aktor dan Modal Sosial

Secara sosiologis politik fenomena bergeraknya ratusan ribu hingga jutaan massa sangat sulit terjadi jika tidak ada aktor yang memiliki modal sosial (social capital) yang memadai, yakni memiliki jaringan sosial (social networking) yang luas, jaringan sosial yang dirawat dengan baik, dan aktor-aktor di dalamnya betul-betul tokoh otentik yang memiliki pengaruh kultural yang sangat kuat ditengah-tengah masyarakat.

Pertanyaanya siapa mereka aktor yang memiliki modal sosial dan pengaruh yang kuat ditengah-tengah masyarakat Makassar?

Penelusuran penulis kemudian tertuju pada aktor utama dan sejumlah tokoh lainya yang memiliki pengaruh atau ketokohan kuat dengan jejaring yang mengakar di Makassar.

Aktor utama yang kemudian akhirnya terbaca oleh publik adalah Tamsil Linrung yang dikenal sebagai inisiator utama sekaligus panitia kegiatan Jalan Gembira, ia juga adalah anggota DPD RI.

Kemudian tokoh-tokoh lain yang juga memiliki modal sosial memadai di Makassar juga terbaca peranya di media massa dalam rangkaian agenda di Sulawesi tersebut diantaranya adalah Asri Tadda, Daeng Makmur Ante Pasau, Ramli Rahim, Miswar, Rijal Djamal, dan Prof. Andi Pangerang Muntha.

Menariknya sebelum agenda puncak jalan gembira tersebut, ternyata ada belasan agenda Anies-Muhaimin selama safari politik di Sulsel yang dimotori para aktor tersebut. Diantaranya kunjungan ke Istana Datu Luwu di Palopo, peresmian Posko Wilayah Sulsel, peresmian Posko Induk Indonesia Timur, pertemuan dengan Gen Perubahan, pertemuan dengan pegiat sosial media, serta diskusi di kampus UNHAS.

BACA:  Membaca Kehadiran Paslon Isrullah - Usman di Pilkada Lutim

Tentu secara sosiologis faktor kehadiran tokoh yang juga Capres – Cawapres Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar menjadi stimulus utama yang menyedot perhatian masyarakat Sulawesi untuk berduyun – duyun menghadiri agenda jalan gembira tersebut.

Para Aktor grrakan massa yang memiliki modal sosial yang memadai pada akhirnya menjadi kunci utama sebuah gerakan massa dengan jumlah jutaan massa, aman dan tertib terjadi di Sulawesi Selatan.

Masa Depan Gelombang Massa

Gelombang jutaan massa yang resah, rindu dan penuh harap dalam konteks perubahan hanya akan efektif mencapai tujuanya ketika gelombang harapan itu menular dibanyak titik kota dan desa – desa di Indonesia.

Saya kira ini ‘PR’ penting dari daya tular jalan gembira di Makassar itu untuk semua wilayah di Indonesia.

Lebih dari itu fenomena gelombang jutaan massa ini menjadi semakin bermakna ketika Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar mampu menangkap pesan rakyat itu lalu menterjemahkan harapan publik itu menjadi agenda-agenda kerja yang konkrit dalam menjalankan roda pemerintahan jika kelak keduanya terpilih sebagai pemimpin di republik ini.

Tetapi jika tidak mampu menangkap harapan publik itu, saya khawatir keresahan kerinduan dan harapan rakyat itu akan menggunakan caranya sendiri untuk bekerja menggapainya.

Wallahua’lam bishowab.

Ubedilah Badrun, Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ).