Di Tengah Tuntutan Swasembada, Cadangan Beras Menipis dan Impor Gula Malah Naik

waktu baca 2 menit
Kamis, 27 Okt 2022 22:55 0 63 Tim Redaksi
 

MALILIPOS.COM – Kondisi pangan Indonesia kembali jadi sorotan. Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi sinyalemen mengapa hal tersebut patut diwaspadai.

Pertama, Badan Pangan Nasional (Bapanas) mencatat stok cadangan beras pemerintah (CBP) di Perum Bulog pada Oktober 2022 ini hanya 673.613 ton — terendah selama setahun terakhir.

Angka ini hanya setengah dari cadangan bulan yang sama tahun lalu yakni sekitar 1,25 juta ton beras. Bapanas memprediksi target CBP 1,2 juta ton pada akhir tahun akan sulit tercapai.

Direktur Distribusi dan Cadangan Bapanas, Rachmi Widiriani, mengatakan bahwa pemerintah harus segera mengimbangi stok beras yang keluar bulan ini.

Ia menyebutkan bahwa Bulog terhambat oleh kondisi paceklik di tengah arus keluar stok beras demi menjaga stabilitas harga pangan, serta persaingan dengan swasta.

Saat ini, separuh dari stok nasional berada di rumah tangga, hanya 12% berada di pedagang dan 21% di penggilingan. Sisanya berada di tangan Bulog.

Dilansir dari Bisnis.com, Asisten Deputi Pangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Muhammad Saifulloh, menilai Bulog gagal menjaga stabilisasi pasokan dan harga pangan khususnya beras. Tak hanya stok yang menipis, harga beras di tingkat konsumen pun naik 4,2%.

Kedua, Indonesia juga bergelut dengan upaya mencapai swasembada gula di tengah masifnya arus impor.

Rencana Peraturan Presiden (Pepres) tentang swasembada gula dikritik baik oleh petani dan pakar. Perpres tersebut mencantumkan keharusan produksi untuk ditingkatkan menjadi 93 ton tebu per hektar, rendemen 11,2%, dan penambahan luas lahan 700.000 hektar.

Sementara, pemerintah juga mengeluarkan rekomendasi impor 500.000 ton untuk PTPN IV karena asumsi cadangan yang berada di level 880.000 ton. Ini berbeda dengan catatan Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) yang memperkirakan stok nasional berada di posisi 1,6 juta ton.

Selain itu, Profesor dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menilai perpres tersebut tak realistis karena menuntut pengadaan lahan baru, sementara lahan eksisting sekitar 500.000 hektar masih terus tergerus alih fungsi lahan. [via TCI]