MALILIPOS.COM – Pemerintah Daerah Kabupaten Luwu Timur diminta untuk mengakui keberadaan masyarakat adat di wilayah berjuluk Bumi Batara Guru dengan cara membuat regulasi khusus untuk itu.
Hal tersebut diungkapkan Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tana Luwu, Bata Manurun dalam diskusi daring bertajuk “Divestasi Saham PT Vale, Tana Luwu Kebagian Apa” yang digelar The Sawerigading Institute, Jumat (03/06/2020) malam.
Menurut Bata, pengakuan terhadap eksistensi masyarakat adat merupakan amanat konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945.
“Cara pengakuannya adalah dengan membuat perda, perbup, atau regulasi lain yang isinya menyatakan pengakuan atas keberadaan mereka di Luwu Timur,” kata Bata.
Dalam pemaparannya, Bata menjelaskan masyarakat adat sebagai komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun temurun di atas suatu wilayah adat.
Masyarakat adat juga memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya, yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya.
Pengakuan pemerintah akan meneguhkan cita-cita masyarakat adat untuk dapat berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya.
Ketua Masyarakat Adat Rongkong ini menyoroti jika selama ini masyarakat adat hanya dianggap ada jika menjelang perhelatan Pilkada, atau dalam acara-acara seremonial yang menampilkan kesenian daerah.
Di Luwu Timur, jelas Bata, setidaknya ada 10 kelompok masyarakat adat yang telah diverifikasi keberadaannya oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tana Luwu, yakni To Padoe, To Turea, To Karunsi’E, To Rahampu’U, To Tambe’E, To Konde, To Weula, To Cerekang, To Wotu dan To Pamona.
Untuk diketahui, kegiatan diskusi daring yang dimoderatori Asri Tadda ini juga menghadirkan Kepala Bapelitbangda Luwu Timur H. Budiman Hakim, akademisi dan sosiolog Universitas Hasanuddin Sawedi Muhammad dan Ketua Kerukunan Keluarga Luwu Raya (KKLR) Buhari Kahar Muzakkar.