Oleh: A. Pangerang Moenta (Ketua MD KAHMI Kota Makassar)
Ada metode yang dikemukan George Wilhelm Friedrich Hegel (seorang filsuf dan idealis Jerman, dia percaya bahwa jiwa adalah realitas tertinggi. Hegel mengemukakan teori dalam bukunya “Philosophy of History”), untuk menghasilkan pemikiran di antara banyak ide yang dinamis yaitu tesis, antitesis dan sintesis.
Analog dengan metode dialektika Hegel tersebut, jika tesis yang diluncurkan mendapat perlawanan (antitesis), maka untuk menghasilkan sintesis dilihat mana yang paling dominan setuju atau benar adanya.
Jika yang tesis dominan didukung maka yang antitesis berusaha menyesuaikan, tetapi jika yang antitesis yang dominan, maka yang tesis yang menyesuaikan atau berubah diri.
Dikaitkan dengan tahun baru Islam 1443 H, perlu dilakukan evaluasi diri terhadap sikap dan perbuatan selama setahun lalu. Perbuatan yang setahun dilakukan dianggap sebagai sebuah tesis. Yang menjadi antitesis adalah tanggapan orang lain, terutama parameter agama dan nilai moral yang dianut, apakah sesuai atau tidak.
Jika sikap dan perbuatan kita selama ini umumnya bertentangan dengan respon org lain dan petunjuk agama atau nilai moral, termasuk kontraproduktif dengan tantangan zaman, maka kita perlu berbenah diri, tetapi jika apa yang sudah dilakukan selama ini sudah on the track, maka tetap juga dilakukan pembenahan diri karena dinamika zaman selalu berubah.
Hasil pembenahan diri itulah yang disebut dengan sintesis. Selayaknya memang harus selalu dilakukan penyesuaikan atau adaptasi agar bisa eksis sesuai perkembangan zaman.
Yang penting bahwa adaptasi yang dimaksud tetap terukur sesuai kaidah agama atau nilai moral yang ada. Tidak boleh juga melakukan adaptasi tidak terukur sehingga kaidah agama atau moral justru dilanggar.
Dengan mencoba menganalogkan metode dialektika filsuf Jerman tersebut, merupakan salah satu pendekatan dalam menjalani kehidupan baik pribadi maupun kelompok atau bahkan organisasi jika ingin eksis dalam perkembangan zaman dan mampu memainkan peran dalam tantangan zaman.
Satu kasus yang bisa kita angkat namun tidak bisa mengadaptasi dengan zaman akhirnya gagal eksis, yaitu taxi offline. Andai saja taxi offline, segera menyesuikan diri dengan perkembangan zaman, tentu masih bisa eksis dalam memberi pelayanan transportasi masyarakat (namun ada informasi bahwa mereka sudah adaptasi juga tetapi terlambat sehingga pasar sudah direbut pihak lainnya). Akibat keterlambatan memanfaatkan teknologi sehingga diambil alih oleh grab, gocar, ojol, dll.
Berbeda dengan transportasi udara, sebelumnya memang melakukan pembelian tiket secara offline, namun karena menyesuiakan diri dengan perkembangan teknologi, maka pelayanan atau reservasi tiket menyesuaikan dengan menggunakan reservasi online, akhirnya transportasi udara komposisinya tidak berubah seperti masih bertenggernya garuda, lion, citilink dll. Yang berubah hanya jumlah penumpang yang berkurang akibat pandemi yang memengaruhi semua penerbangan di seluruh dunia.
Dengan demikian, untuk bisa adaptif sesuai perkembangan zaman, maka perlu melakukan evaluasi diri, mulai dari tesis, kemudian melakukan pembenahan setelah melihat antitesis dari nilai agama atau moral yang ada, dan seterusnya melakukan lagi kajian-kajian terhadap perkembangan zaman agar dapat melahirkan sintesis supaya bisa eksis dengan zaman sehingga masih tetap dapat berperan sesuai kebutuhan zaman.
Kata kunci dalam hijrah memasuki tahun baru Islam 1443 H adalah menyesuaikan diri, keluarga atau kelompok/bangsa untuk eksis pada pola sikap dan perilaku yang tetap sesuai dengan nilai agama dan moralitas dengan tetap adaptif dengan perkembangan zaman.
Hijrah mesti ditafsirkan perubahan mindset, sikap dan perilaku, dan tidak mesti melulu hanya perpindahan tempat untuk menunaikan amanah sebagai khalifatun fil-ardh.
Wallahu a’lam bish-shawab
Makassar, 11 Agustus 2021.