MALILIPOS.COM – Dewasa ini total utang global telah mencapai US$226 triliun (Rp 3,94 juta triliun) pada 2020, tertinggi sejak perang dunia kedua.
Sementara itu, menurut Institute of International Finance, utang pemerintah, rumah tangga, dan sektor swasta di 31 negara berkembang mencapai $98,8 triliun pada Juni tahun ini, atau 2,5 kali lipat produk domestik bruto (PDB) kolektif mereka.
Dengan utang yang menggunung dan ruang fiskal yang kecil, banyak negara yang berisiko gagal membayarkan utang luar negeri mereka dan menghadapi guncangan ekonomi besar di tengah resesi global.
Untuk menghindari hal ini, G20 – yang mewakili lebih dari 80% PDB dunia – meluncurkan inisiatif penangguhan layanan utang (DSSI) untuk menunda, bukan membatalkan, utang ke sebagian besar negara berpenghasilan rendah.
Namun, negara-negara G20 perlu memperluas layanan ini ke negara-negara berkembang – termasuk Indonesia – yang utangnya terus meningkat.
Negara-negara berkembang menyumbang sekitar 50% dari output global, dan guncangan eksternal ke negara-negara ini dapat memperdalam resesi global.
Sebuah analisis menunjukkan posisi negara berkembang sebagai punggawa perekonomian global, misalnya, menjadi salah satu latar mengapa penangguhan pembayaran utang diperlukan.
Tanpa adanya keringanan, kondisi resesi global bisa jadi makin teruk. Negara-negara ini harus mampu melakukan negosiasi dengan salah satu kreditor besar mereka, yakni Cina.