Oleh: dr. Asyikun Nasyid Room, M. Kes, Sp. An
(Wija to Luwu, Dokter Spesialis Anestesi dan ICU RSUD H. Padjonga Dg Ngalle, Kab Takalar)
MALILIPOS.COM – Pandemi Covid-19 yang mengubah hampir seluruh sendi kehidupan umat manusia, tampaknya membuat banyak orang lupa terhadap ‘silent killer‘ berupa penyakit-penyakit tidak menular (non-communicable diseases, NCDs).
Padahal dari sisi jumlah kematian yang tercatat, sejak pertama kali ditemukan di Wuhan pada Desember 2019 hingga saat ini, 25 Mei 2020 (sekitar 5 bulan), Covid-19 “hanya” menyebabkan 347.166 kematian di seluruh dunia (data dari worldometer).
Bandingkan dengan penyakit jantung iskemik/koroner dan stroke, yang jika angkanya digabung, di tahun 2016 saja telah menyebabkan 15,2 juta kematian di seluruh dunia (lihat gambar). WHO mencatat, NCDs adalah penyebab dari 71% kematian di seluruh dunia.
Ini bukan berarti kita perlu mengurangi kewaspadaan terhadap pandemi Covid19. Tapi perhatian terhadap NCDs jangan sampai berkurang karena pandemi ini.
Di samping edukasi mengenai gaya hidup yang sehat untuk mencegah komplikasi akibat NCDs, hal yang penting diperhatikan adalah pemahaman tentang bagaimana penanganan yang benar terhadap penyakit tidak menular ini, yang sebagian besar di antaranya didasari oleh penyakit-penyakit kronis (menahun), seperti hipertensi, dislipidemia (gangguan lemak darah, secara awam diistilahkan “kolesterol”) dan diabetes.
Dalam banyak kasus, sering kali penanganan yang benar terhadap suatu penyakit kronis maupun komplikasinya mengalami keterlambatan karena pemahaman yang keliru mengenai apa itu obat dan apa itu sembuh.
Dipersepsikan bahwa ketika dokter hanya memberikan obat secara terus menerus untuk hipertensi, dislipidemia atau diabetes, maka pengobatan tersebut tidak bisa menyembuhkan dan karenanya bukan pengobatan yang baik dan benar, karena justru menyebabkan “ketergantungan” kepada obat-obatan.
Di saat yang sama datanglah informasi-informasi mengenai pengobatan cara lain yang dihiasi dengan kata-kata “holistik”, “alami”, “tanpa efek samping”, dan sebagainya.
Kadang pula ditambah dengan istilah-istilah agama yang menambah keyakinan pasien bahwa pengobatan inilah yang bisa menawarkan “kesembuhan hakiki” dalam arti bebas obat selamanya.
Meskipun dalam kenyataannya tetap saja ramuan-ramuan yang disajikan metode alternatif tersebut diminum secara rutin, tidak ada bedanya dengan obat “kimiawi” yang dianggap merusak ginjal dan hati jika terus menerus dikonsumsi.
Apa sih definisi “sembuh”? Sederhana saja, kalau melihat KBBI, sembuh adalah menjadi sehat kembali (tentang orang sakit, dari sakit atau penyakit); pulih.
Kalau demikian halnya maka orang hipertensi, dislipidemia atau DM yang terkontrol dengan obat sehingga tekanan darah, kolesterol atau gula darahnya normal, sudah mencapai kesembuhannya dengan menggunakan obat-obatan tersebut secara teratur. Itulah kondisi kesembuhan baginya, bahasa teknis medisnya “terkontrol”.
Ketika orang-orang dengan kondisi penyakit penyerta ini kemudian tidak menjalani pengobatan secara rutin dan teratur (diantaranya karena misinformasi seputar obat, sembuh, obat kimia, herbal dsb); maka penyakit tersebut menjadi tidak terkontrol lagi.
Tinggal tunggu waktu saja, hipertensi, dislipidemia atau DM itu akan “mengamuk” menjadi serangan jantung atau stroke.
Di sini pentingnya kita berhati-hati menyebarkan informasi. Serahkanlah penyebaran informasi apalagi hal-hal yang berhubungan dengan hidup-mati kepada orang-orang yang berkompeten. Orang-orang yang mempelajari ilmunya. Supaya setidaknya kita terbebas dari tanggungjawab kemudharatan yang terjadi pada diri seseorang karena misinformasi yang bisa saja berasal dari diri kita.
Sesuatu yang kadang kita tidak pikirkan sejauh itu. Di era pandemi ini saja begitu banyak misinformasi terkait Covid19 yang menyesatkan banyak orang dan justru berakibat fatal. Dan polanya sama dengan misinformasi seputar NCDs: informasi dari orang-orang yang bukan ahlinya.
Allah SWT telah berfirman:
فَسئلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (Q.S. An-Nahl: 43). [**]