Oleh: Adi Suryadi Culla
Dosen Fisip Universitas Hasanuddin
Konon dalam mitologi Yunani, Cassandra (Alexandra) — puteri Raja Troy, Priamos dan Ratu Hakabe — adalah seorang wanita cantik mempesona dan cerdas.
Karena kecantikan rupa dan kemolekannya, banyak lelaki tergoda. Salah satu yang jatuh cinta habis adalah dewa Apollo, sang dewa cahaya dan nubuat (ramalan).
Syahdan untuk memikat Cassandra, Dewa Apollo bermaksud memberikan hadiah istimewa. Hadiahnya tidak main-main. Hadiah tingkat dewa: kepandaian nubuat (meramal) atau pengetahuan tentang masa depan.
Dengan itu, maka Cassandra akan tahu peristiwa yang bakal terjadi dengan nubuat yang tidak akan salah.
Singkat kisah, Cassandra rupanya menolak hadiah itu. Akibatnya, Dewa Apollo memberi kutukan. Yaitu: ia ditakdirkan tetap memiliki kemampuan nubuat (meramal), namun nubuatnya tak pernah dipercaya orang. Karena tak ada yang percaya, ia pun tak mampu mencegah kejadian yang diramalnya.
Salah satu yang dicerca, ramalannya tentang kehancuran negerinya dalam Perang Troy, termasuk ancaman taktik Kuda Troy tipu muslihat perang pasukan Yunani; namun, tak dipercaya rakyatnya.
Cassandra pun menanggung beban kutukan berat. Akibatnya, hidup Cassandra tertekan dan menderita. Jiwanya tergores.
Satu hal lagi : kendati hidup dan jiwanya luka, menderita, tetapi di depan mata ia tak pernah nampak kesedihannya serta menunjukkan keadaan emosionalnya yang tergores, seolah tidak mengalami apapun.
Istilah Cassandra Complex (Syndrome) kemudian menjadi majas metafora, untuk memaknai fenomena sosial tertentu: psikologi, politik, antropologi, dan seni.
Dalam politik, misalnya, dipakai untuk menunjuk suatu peristiwa tragis seperti kegagalan (kekalahan) politik; dengan sebab dikhianati, ditolak dan diabaikan atau ditinggalkan, dicopot atau disingkirkan, dan lainnya.
*****
Istilah Cassandra Complex menjelang Pemilu 2019 lalu, pernah diucapkan Rocky Gerung dalam dialog ILC, ketika berbicara kegagalan Mahfud MD menjadi Cawapres; saat itu Ma’ruf Amin yang disepakati koalisi mendampingi Jokowi periode kedua. Tentu saja Mahfud menolak dikatakan sakit hati. Namun Rocky menyebutnya mengalami Cassandra Complex. Kini, Mahfud akhirnya sudah jadi jadi Cawapres.
Adakah konsep Cassandra Complex itu relevan di tengah dinamika politik menjelang Pemilu 2024 akhir-akhir ini? Tentu banyak fenomena menarik untuk diurai, dalam memaknai berbagai peristiwa politik.
Salah satu yang tersorot: hubungan PDI-P dengan Presiden Jokowi. Hubungan yang semula harmonis, kemudian mendadak merosot.
Setelah diusung dua kali Pilpres, di penghujung masa jabatannya Jokowi justeru berselisih jalan dengan PDI-P. Padahal partai tersebut adalah pendukung utamanya sejak terpilih sebagai Walikota Solo serta Gubernur DKI Jakarta, hingga kemudian Presiden dua periode.
Hubungan mereka pun retak. Tampak dari perbedaan arah sikap merespon kandidasi Capres-Cawapres. Di satu sisi PDI-P mendukung pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, di sisi lain Jokowi seolah membentuk “partai lain” di belakang Prabowo Subianto yang tandem putra sulungnya: Gibran Rakabuming Raka, sebagai Cawapres.
PDI-P nampak sangat kecewa. Sebelum penetapan Capres-Cawapres oleh KPU, jauh hari pendukung kedua pihak telah terlibat “perang wacana”. Dalam berbagai acara dialog publik, PDI-P malah tampil tak lagi bisa menyembunyikan “luka politik”.
Jokowi pun dalam suatu sambutan menyentil. Tidak eksplisit ditujukan ke PDI-P, namun arahnya jelas terkait dinamika Pemilu 2024, ia berkata: “Yang saya lihat akhir-akhir ini, yang kita lihat adalah terlalu banyak dramanya, terlalu banyak drakornya, terlalu banyak sinetronnya. Mestinya pertarungan gagasan, mestinya pertarungan ide, bukan pertarungan perasaan. Kalau yang terjadi pertarungan perasaan, repot kita semua.”
Puncak dari ekspresi perseteruan seolah mencerminkan kekecewaan PDI-P, tampak dari pidato Megawati yang berapi-api di hadapan massa Rakornas Relawan Ganjar-Mahfud, serunya: “Mestinya Ibu nggak boleh ngomong gitu, tapi sudah jengkel. Tahu nggak, kenapa? Republik penuh dengan pengorbanan, tahu tidak? Kenapa sekarang kalian yang baru berkuasa itu mau bertindak seperti zaman Orde Baru?”
Tak salah istilah Cassandra Complex, untuk PDI-P menghadapi Pemilu 2024. Tak terbayangkan jika Ganjar-Mahfud kalah, jangankan oleh paslon Anis-Muhaimin, terlebih jika dikalahkan Prabowo-Gibran. Kiranya masa kampanye sudah cukup untuk PDI-P bereaksi atas berbagai hambatan politik, padahal ironisnya malah sebagai “the rulling party”. Berseberangan Jokowi, PDI-P berupaya menyembunyikan keadaan emosional sebenarnya.
*****
Problem Cassandra Syndrom juga dialami oleh sejumlah tokoh (elit) pendukung Jokowi yang kecewa. Tak perlu menyebut semua. Namun dapat dicatat sederetan cendekiawan, aktivis dan seniman memberikan reaksi “patah hati”.
Katakan Goenawan Mohammad (GM), salah satu yang mengeritik tajam perubahan sikap Jokowi yang pernah ia puji sebagai Presiden terbaik Indonesia. Ia mengeritik Jokowi serupa Orde Baru yang otoriter, dan menjalankan politik dinasti. Wartawan senior dan sastrawan legendaris itu bahkan membuncahkan ekspresi sedih dan air mata.Tak ayal Majalah Tempo yang dibesut GM pun tak kalah dalam kritik.
Selain GM, sederetan tokoh lainnya yang semula memuji dan membela Jokowi berbalik arah. Sekada menyebut seperti: Ikrar Nusa Bakti (ilmuwan), Butet Kertarajasa (seniman); aktivis senior anti korupsi seperti Todung Mulya Lubis dan Erry Riana Hardjapameka, serta Andi Wijayanto (mantan Gubernur Lemhanas, PDI-P), dan mungkin masih banyak lainnya. Nampaknya, semua mengalami Cassandra Complex.
Berhadapan sindrom Cassandra Complex dalam ranah politik, ada dua pilihan sebagai respon kritis. Pertama, berpikir secara realisme. Prinsipnya: “tidak ada kawan dan lawan abadi; satu-satunya yang abadi hanya kepentingan”.
Dengan paham seperti itu, tidak ada tempat bagi hati yang luka. Hari ini kawan bisa jadi lawan, begitu pun lawan bisa jadi kawan. Disini respon didasarkan pada rasionalitas dan pragmatisme
Kedua, berpikir berdasarkan etika atau fatzun (tata krama). Disini soal pengkhianatan tidak perlu direspon dengan perasaan, namun berdasarkan moralitas atau nilai etis.
Kalau Anda merasa, kecewa atau dikhianati, jadikan pengalaman itu sebagai pelajaran etik untuk menegakkan integritas moral, sebagai evaluasi bahwa ekit bangsa atau masyarakat yang dihadapi belum mengharga moralitas atau etika politik. *****