Oleh: Yarifai Mappeaty
Siapa sangka, porang telah berhasil mengubah hidup seorang Paidi. Dulu, beberapa tahun lalu, ia hanya seorang buruh tani dan pemulung barang bekas di Jawa Timur.
Sekarang, Paidi telah menjadi seorang milyader. Melalui perusahaannya, PT. Paidi Indo Porang, ia mengembangkan usaha budidaya tanaman porang untuk di ekspor ke manca negara, terutama, Jepang.
Porang adalah sejenis umbian yang tumbuh liar di hutan. Amorphophallus muelleri, nama spesiesnya. Sebagai umbian yang bisa dimakan, porang mengingatkan saya saat bocah sekitar tahun 1970-an.
Kala itu, wilayah pesisir timur Sulawesi Selatan dilanda bencana kekeringan berkepanjangan. Padi dan jagung di “rakkeang”, lumbung pangan yang terletak di bagian atas rumah, telah habis.
Sementara itu, sawah-sawah kering, tidak memungkinkan padi atau jagung sebagai bahan makanan pokok, hidup dan tumbuh.
Pada situasi itu, orang-orang yang benar-benar sudah kehabisan, pergi ke hutan-hutan mencari umbian yang bisa dimakan.
Saya masih ingat, di Bone, ada sejenis umbian disebut “siyafa” menjadi bahan makanan alternatif pengganti beras atau jagung.
Di daerah lain seperti di Pinrang dan Sidrap, orang-orang menyebutnya “sikapa”. Hanya, siyafa ini sedikit beracun, sehingga mesti hati-hati mengolahnya.
Tetapi porang bukan siyafa, meskipun, mungkin berasal dari satu ordo yang sama dalam taksonomi tumbuhan. Sebab siyafa tumbuh merambat pada batang pohon lain, sedangkan porang, tidak.
Beberapa menyebut porang sebenarnya adalah makanan asli orang Jepang. Ceritanya, pada Perang Dunia II, kala bala tentara Jepang menduduki Indonesia, mereka membawa serta bibit tanaman porang ini dari negerinya untuk dibudidayakan sebagai sumber bahan makanan pokok bagi mereka.
Tidak heran, kalau di Sulawesi Selatan sebagai daerah yang pernah diduduki tentara Jepang, tanaman ini juga menyebar secara luas.
Kini, petani di Jeneponto ditengarai telah membudidayakannya. Bahkan di beberapa daerah, seperti di Maros, telah berdiri pabrik pengolahan porang, meski masih sedang kesulitan bahan baku.
Setelah kalah perang, bala tentara Jepang pergi meninggalkan Indonesia. Semenjak itu, masyarakat tidak lagi memperdulikannya. Porang pun tumbuh di hutan-hutan sebagai tanaman liar.
Baru sekitar beberapa tahun terakhir, para petani di berbagai daerah di Indonesia kembali meliriknya, membudidayakannya sebagai tanaman bernilai ekonomi tinggi yang sangat menggiurkan.
Bagaimana tidak? Bayangkan, usaha budidaya porang ini, ternyata mampu menghasilkan 50 sampai 70 ton per hektar per tahun. Saat ini, harganya mencapai Rp. 9000/kg, terendah, Rp 4000/kg.
Dengana kata lain, bisnis ini mampu memberikan penghasilan, paling tidak, 200 juta rupiah per tahun. Pantas saja seorang Paidi berubah menjadi milyader dalam waktu relatif singkat.
Cerita sukses seorang Paidi, kemudian menginspirasi seorang kawan. Ia yang telah lebih dari sepuluh tahun menggeluti bisnis sawit dan peternakan sapi, tergoda untuk mengikuti jejak Paidi.
Dalam satu tahun terakhir, ia melakukan uji coba budidaya porang secara diam-diam. Setelah merasa berhasil dan yakin, ia pun mengembangkan bisnis budidaya porang ini, jauh di pedalaman Bombana Sulawesi Tenggara.
Tidak tanggung-tanggung, Sakkir Hanafi, Ketua IKA Alumni FKM Unhas itu, telah menyiapkan 1000 hektar sebagai lahan budidaya.
“Serius nih, bos?” tanyaku suatu sore beberapa bulan lalu.
“Kenapa tidak?!” jawabnya.
“Saya baru menyadari kalau kita ini bangsa yang benar-benar malas. Hutan-hutan kita menyimpan harta karun. Sebagai sarjana, saya tiba-tiba merasa malu kepada sosok Paidi,” sambungnya sembari ketawa cengengesan, seolah mentertawai dirinya sendiri.
“Bisa ikut invest, tidak? Berapa persen keuntungan?” pancingku.
“Setelah saya hitung, keuntungan bagi investor, bisa sampai 30%. Tetapi tunggu dulu, biar tim kami menyiapkan sistemnya,” jawabnya penuh optimisme.
Beberapa hari ini, sedang beredar di berbagai grup Whatsapp tentang ajakan berinvestasi pada usaha budidaya porang di atas lahan 1000 hektar melalui situs vestanesia.com.
Saya tiba-tiba teringat obrolan saya dengan Sakkir beberapa bulan berselang. Karena penasaran, saya pun memutuskan menelponnya.
Benar. Ia rupanya telah siap dan sedang running untuk mewujudkan gagasannya, “bersama-sama menjadi jutawan dari desa”.
Ayo! Ada yang berminat?